Opini  

Hari Perempuan Internasional dan PR Melawan Patriarki

Monica Monalisa

Bidang Advokasi Rumah Perempuan dan Anak Kabupaten Pringsewu

HARI Perempuan Internasional yang biasa diperingati setiap tanggal 8 Maret merupakan momentum untuk merefleksikan perjuangan perempuan melawan diskriminasi, ketidakadilan, dan kekerasan yang wujudnya semakin nyata di tengah krisis pandemi Covid-19 ini.

Perempuan telah bersuara, bergerak, dan berkelompok untuk melawan dominasi kuasa serta tetap sepenuh hati mengerjakan tugas-tugas domestik yang tidak pernah usai.

Dominasi kuasa kapitalisme yang menghancurkan ruang kelola sumber penghidupan perempuan melalui kebijakan yang berorientasi pada industri global sehingga berdampak terhadap peminggiran peran dan pemiskinan yang struktural perempuan petani, dan perempuan nelayan (pesisir).

Dominasi kuasa Negara yang menghasilkan kebijakan diskriminatif bagi perempuan buruh migran hingga harus mengalami ketidakadilan berlapis dan menjadi korban kekerasan seksual, dan rentan perdagangan manusia.

Selain itu, dominasi kuasa patriarki tidak hanya membatasi ruang gerak perempuan melalui stereotip agar perempuan tetap di rumah. Situasi kerentanan dan kekerasan berlapis harus dirasakan perempuan di berbagai aspek tidak terkecuali bagi korban kekerasan seksual yang sampai hari ini masih terjadi, namun realitas menyedihkan di tengah masifnya korban kekerasan seksual, aktor negara abai untuk memberikan payung hukum dalam melindungi korban kekerasan seksual dengan tidak mengesahkan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual).

Sayangnya, di Indonesia, Feminisme dikaitkan dengan kemampuan perempuan yang harus setara dengan laki-laki, misal angkat galon , dan naik genteng.

Padahal, advokasi isu perempuan sudah harus lebih jauh lagi. Tidak hanya mentok di pembahasan-pembahasan adu fisik, atau menang-menangan. Dengan pembuktian siapa lebih kuat dari siapa, itu jelas pola pikir yang masih patriarkis sekali.

Selain itu, tujuan feminisme untuk menghapus diskriminasi, stigmatisasi, kekerasan, beban ganda, memberikan akses yang setara bagi kelompok rentan, serta memberikan perhatian khusus bagi perempuan yang sedang menjalani pengalaman biologisnya.

BACA JUGA:  Pendapat Akademisi FH Unila Hukum Administrasi Negara: Satria Prayoga

Hingga hari ini, masih banyak pekerjaan-pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para aktivis perempuan, dan juga dorongan dari Pemerintah.

Beberapa diantaranya yakni equal freedom (kebebasan yang sama). Perempuan hari ini, sering tidak mendapatkan kebebasan yang sama dengan laki-laki. Perempuan yang pulang kerja malam, sering di stigmatisasi “perempuan nakal”. Pelabelan tersebut didapatkan oleh para perempuan pekerja dari lingkungan keluarga, hingga lingkungan tempat tinggalnya.

Kemudian equal respect (penghormatan yang setara), perempuan saat ini sering mendapatkan penghormatan yang berbeda dari laki-laki. Laki-laki selalu mendapatkan tempat duduk paling depan dalam acara-acara penting lainnya. Hanya perempuan-perempuan yang mendapatkan privilage tertentu yang bisa mendapatkan ruang penghormatan yang setara.

Selanjutnya ada equal freedom from stereotipe (kebebasan dari streotipe), perempuan selalu dipengaruhi oleh stereotip bahwa perempuan itu cerewet, lemah, dan cengeng. Padahal hal-hal tersebut hanyalah gambaran dalam kepala seseorang yang bisa saja tidak akurat. Karena stereotip merupakan generalisasi tentang sifat-sifat yang dianggap dimiliki oleh orang-orang tertentu tanpa didukung oleh fakta objektif.

Stereotip gender ini biasa terjadi di lingkungan kita sehari-hari, misal, perempuan di rumah harus rajin , rapih, dan bersih. Sedangkan laki-laki harus bersuara keras, bertubuh atletis, dan agresif.

Kemudian, equal representation (representasi yang setara), dalam berbagai ekspresi komunikasi sosial, perempuan dikonstruksikan untuk mengkomunikasikan kepentingan secara visual. Tubuh perempuan dijual demi kepentingan iklan, dan televisi. Perempuan-perempuan cantik dijadikan sebagai daya tarik untuk menarik konsumen di layar kaca. Perempuan dijadikan subjek dalam pemberitaan , perempuan selalu dikaitkan dengan aktivitas domestik yang lebih menekankan skill ketimbang laki-laki yang dikaitkan dengan aktivitas kognitif.

Lalu, equal pay, from equal work (gaji yang sama, untuk pekerjaan yang sama), dilansir dari cncbindonesia.com, Sri Mulyani Menteri Keuangan mengatakan, gaji perempuan 23% lebih rendah dibandingkan pria.

BACA JUGA:  Catatan Akhir Tahun 2022 PWI Pusat

Menurut dia, di Indonesia, masih ada anggapan bahwa pekerjaan terutama di sektor formal itu sebagai pekerjaan yang harus dilakukan oleh lelaki dan tidak cocok untuk perempuan. Persepsi ini yang perlu dirubah sehingga ada kesetaraan antara pria dan wanita.

Kemudian equal right (hak yang sama), perempuan seringkali termarjinalkan oleh konsepsi sosial budaya di masyarakat yang cenderung patriarkis tanpa melihat hak.
Perlakuan diskriminatif kerap kali diterima perempuan Indonesia baik dalam kehidupan sosial maupun dunia profesional. Misalnya, dalam ketenagakerjaan, perempuan berhak mendapatkan masa cuti yang dibayar, termasuk saat cuti melahirkan.

Kemudian, hak dalam bidang kesehatan, perempuan berhak mendapatkan kesempatan bebas dari kematian pada saat melahirkan, dan hak tersebut diupayakan oleh negara. Negara juga menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan.

Selain itu ada body autonomy (otonomi tubuh). Otonomi atas tubuh perempuan selalu berhubungan dengan kekuasaan. Seorang perempuan dikatakan dapat memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri ketika dia dapat melakukan kontrol atas tubuhnya.

Penindasan yang diterima oleh perempuan berawal melalui dominasi atas seksualitas perempuan yang ditemui di ranah privat, kebanyakan perempuan tidak menyadari akan hal itu dan merasa asing dengan tubuhnya sendiri.

Sehingga, penindasan terhadap perempuan terjadi melalui kekuasaan seksualitas laki-laki yang dibarengi dengan upaya laki-laki mengontrol tubuh perempuan.

Meskipun sulit, cara untuk menghancurkan budaya patriarki ini bukan tidak mungkin. Sistem gender atau seks yang merupakan akar penindasan terhadap perempuan ini dapat dihancurkan dengan menciptakan masyarakat baru di mana perempuan dan laki-laki berada dalam posisi setara dalam setiap eksistensinya. Caranya adalah dengan adanya pemahaman androgini di dalamnya, yakni pemahaman pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan.

BACA JUGA:  TNI-Polri dan Kemenkes Gelar Baksos Kesehatan di Banten

Lebih lanjut ada equal opportunies (kesempatan yang sama). Dalam kehidupan publik dan politik, setiap perempuan berhak untuk memilih dan dipilih.Setelah berhasil terpilih lewat proses yang demokratis, perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah hingga implementasinya.

Serta, equal access to education (kesempatan yang sama ke pendidikan). Seperti salah satu poin perjuangan RA.Kartini, setiap perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan, dari tingkat dasar hingga universitas.Harus ada penghapusan pemikiran stereotip mengenai peranan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan dan bentuk pendidikan, termasuk kesempatan yang sama untuk mendapatkan beasiswa.

Dan equal responsibilities at home (tanggung jawab yang sama di rumah).
Perempuan harus ingat bahwa ia punya hak yang sama dengan laki-laki dalam perkawinan.Perempuan punya hak untuk memilih suaminya secara bebas, dan tidak boleh ada perkawinan paksa. Perkawinan yang dilakukan haruslah berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihak. Dalam keluarga, perempuan juga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, baik sebagai orang tua terhadap anaknya, maupun pasangan suami-istri. (***)