Oleh: Redaksi Topikindonesia
Defisit, kata pejabat, adalah hal wajar dalam pengelolaan keuangan.
Kalimat itu diucapkan dengan tenang, seolah kas kosong adalah bagian dari seni mengatur uang rakyat.
Di Lampung, defisit bukan lagi kabar buruk, melainkan tradisi tahunan—seperti festival tapi tanpa panggung hiburan. Setiap akhir tahun, pejabat sibuk menjelaskan bahwa “ini bukan karena salah kelola, tapi karena kondisi nasional”.
Kondisi nasional, dalam birokrasi, adalah kambing hitam paling sehat di republik ini: kuat, sabar, dan selalu siap disalahkan.
Lalu muncul istilah-istilah manis: penyesuaian fiskal, rasionalisasi belanja, efisiensi pengeluaran.
Padahal maknanya sederhana: uang habis sebelum waktunya, tapi kegiatan belum selesai.
Pejabat keuangan tahu, defisit bukan sekadar angka minus. Ia adalah drama berlapis—dimulai dari rencana yang terlalu ambisius, belanja yang terlalu cepat, dan realisasi yang terlalu lambat.
Namun di ruang rapat, semuanya terdengar ilmiah. Grafik ditampilkan, tabel dipoles, dan defisit disulap jadi narasi keberanian fiskal.
“Ini bukti bahwa kita berani mendorong pembangunan,” kata mereka.
Padahal yang paling berani justru kontraktor yang masih menunggu pembayaran sejak musim kemarau lalu.
Lucunya, saat kas kosong, kegiatan baru tetap diluncurkan.
Baliho tetap naik, spanduk tetap dicetak, dan pidato tetap berapi-api.
Hanya saja, setelah tepuk tangan reda, bendahara diam sebentar sebelum berkata lirih: “Kita cari celah dulu.”
Dan begitulah siklusnya.
Defisit datang, alasan menyusul, rakyat menunggu.
Begitu juga dengan target pendapatan Pajak dari kendaraan bermotor, masih sangat jauh dari harapan. Karena itu pun jadi diperpanjang hingga 6 Desember 2025.
Sebenarnya publik enggak begitu pusing soal pajak, karena yang terpenting bagi mereka adalah, besok masih bisa makan bersama keluarganya.
Di Lampung, semua krisis punya penjelasan—karena di sini, tak ada yang benar-benar salah, hanya belum sempat disesuaikan.
Sebab pada akhirnya, defisit hanyalah cara halus birokrasi untuk berkata:
“Kami sudah berusaha keras, tapi bukan kami yang salah.”
Di Lampung, hubungan antara pemerintah dan media adalah kisah cinta yang rumit – penuh janji manis di awal tahun, tapi sering kandas di meja bendahara.
Setiap awal anggaran, semua media lokal bersemangat. Ada rapat, ada kontrak, ada seremonial kerja sama yang penuh senyum. Tapi setelah berita demi berita naik di portal dan koran, tibalah babak yang paling mendebarkan: menunggu pencairan.
Sayangnya, di babak itulah cerita berubah menjadi drama panjang.
Uang yang dijanjikan seolah ikut cuti bersama.
Setiap kali ditanya, jawabannya selalu sopan, tapi bermakna dalam:
“Masih proses.”
“Masih di verifikasi.”
“Masih di BUD.”
“Masih tunggu disposisi.”
Kalimat “masih” itu seperti lagu daerah yang tak pernah selesai dinyanyikan.
Semakin lama diputar, semakin banyak alasan yang muncul — revisi dokumen, perbaikan SPJ, sinkronisasi sistem, bahkan ada yang bilang “menunggu juknis terbaru”, padahal juknisnya sudah lewat masa berlaku.
Di sisi lain, media tetap bekerja.
Berita terus tayang, liputan tetap jalan, dan redaksi tetap hidup — dengan satu modal utama: sabar.
Sebab kalau tidak sabar, tak ada lagi yang bisa dijadikan pegangan, selain surat kerja sama yang kini warnanya mulai pudar di map biru.
Lucunya, ketika pemerintah butuh publikasi cepat, media dipanggil seketika.
“Tolong naik hari ini ya,” katanya.
Dan media pun bergerak dalam hitungan menit.
Sayangnya, ketika giliran pencairan, waktunya berubah menjadi hitungan bulan. Bahkan banyak puasanya ketimbang cairnya.
Hubungan ini akhirnya seperti siaran langsung yang delay:
pemerintah bicara tentang transparansi dan kolaborasi,
sementara media menunggu, menebak-nebak kapan suara “cair” itu benar-benar terdengar.
Tak ada yang berani protes keras, karena semua masih menjaga suasana.
Terlalu frontal bisa dianggap tidak kooperatif, terlalu diam bisa dianggap tidak eksis.
Jadi, mereka memilih posisi tengah: menulis dengan senyum getir.
Padahal, kalau mau jujur, kerja sama publikasi itu seharusnya sederhana: berita sudah naik, maka hak sudah layak dibayar.
Tapi di birokrasi kita, keadilan kadang kalah oleh kelengkapan dokumen — dan kecepatan selalu kalah oleh alasan administratif.
Namun, seperti biasa, semua akan selesai juga — entah kapan.
Dan saat uang akhirnya cair, media hanya bisa tersenyum kecut sambil berkata:“Lebih lambat dari breaking news, tapi setidaknya bukan hoaks.”
Salam Kupi Katok…
Satire hanya untuk mengkritisi

							










