Bulog Diminta Serap Gabah Sebanyak-banyaknya, Apakah Bisa?

SELAMA ini, Bulog dalam bisnisnya tidak sepenuhnya menggiling sendiri gabah yang dibeli dari petani karena justru dianggap tidak menguntungkan. Kondisi itu terjadi hampir di seluruh wilayah kerja Bulog di daerah.

PRESIDEN Joko Widodo meresmikan Sentra Penggilingan Padi Modern/Modern Rice Milling Plant (MRMP) milik Bulog di Sragen, Jawa Tengah, Sabtu (11/3/2023). Selain di Sragen, infrastruktur canggih itu sudah beroperasi di 6 lokasi sentra produksi lainnya, yakni Subang, Kendal, Karawang, Bojonegoro, Magetan dan Lampung. Apakah fasilitas modern tersebut mampu mendongkrak volume pengadaan gabah/beras oleh Bulog?

 

SELAMA ini, Bulog dalam bisnisnya tidak sepenuhnya menggiling sendiri gabah yang dibeli dari petani karena
justru dianggap tidak menguntungkan. Kondisi itu terjadi hampir di seluruh wilayah kerja Bulog di daerah.

Di Lampung misalnya, Rice Milling yang ada di Gudang Garuntang sudah lama tidak beroperasi karena boros bahan bakar. Untuk menggiling gabah hasil pengadaan, Bulog Lampung memilih bekerjasama dengan mitra penggilingan.

Dengan adanya Sentra Penggilingan Padi Modern yang baru saja diresmikan, Jokowi pun meminta Bulog menyerap sebanyak-banyaknya gabah petani karena sarana penyimpanan dan kapasitas mesin MRMP itu sangat besar.

Secara teori, fasilitas modern tersebut memang sangat dibutuhkan Bulog untuk menyerap gabah petani. Namun pada praktiknya hal itu masih sulit dilakukan, lantaran politik penyerapan gabah/beras yang ditugaskan pemerintah kepada Bulog terkendala oleh masih rendahnya kualitas gabah petani, terutama terkait kadar air yang masih tinggi.

Bulog ‘diharamkan’ membeli gabah/beras yang kualitasnya di bawah standar mutu yang ditetapkan Inpres. Harga pembeliannya juga harus sesuai Inpres yang ditentukan setiap tahun.

Secara teori, fasilitas MRMP terbaru milik Bulog, sedikit banyaknya dapat mengatasi persoalan syarat mutu. Namun, masih ada berbagai masalah lainnya yang menghambat kinerja pengadaan/penyerapan gabah/beras oleh Bulog.

Hambatan itu kian terasa sejak sejak harga gabah/beras cenderung bergejolak di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP), seperti yang terjadi tahun ini.

BACA JUGA:  Gubernur Arinal Dampingi Presiden Jokowi Tinjau Ruas Jalan di Provinsi Lampung

Itu mustahil. Itu pelanggaran, dan pasti merugikan Bulog sendiri.

Hambatan lainnya, dan ini paling krusial, adalah hilangnya kesempatan bisnis Bulog di hilir saat penyaluran Rastra untuk masyarakat miskin tidak lagi dilakukan oleh Bulog.

Hambatan itulah yang menjadi sebab anjloknya kinerja pengadaan gabah/beras Bulog sejak 2017 lalu. Sebagai
ilustrasi, saat penyaluran Rastra ditangani Bulog, kinerja pengadaan gabah/beras Bulog Lampung pada 2016 mencapai 150 ribu ton. Setelah itu, seret, bahkan tak mampu mencapai separonnya.

“Sekarang susah. Siap membeli harus siap menyalurkan. Mau salurkan ke mana. Disimpan, kalau terlalu lama juga menjadi masalah. Mumet pokoknya. Tapi kami tetap semangat,” ujar seorang kawan di Bulog Lampung.(IP)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *