TOPIKINDONESIA.ID – Hibah Rp60 miliar dari Pemerintah Kota Bandar Lampung kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung memantik perbincangan publik.
Pertanyaan yang muncul sederhana di tengah defisit APBD, jalan rusak, dan warga yang masih kesulitan ekonomi, apakah adil dana sebesar itu dialokasikan untuk membangun gedung instansi vertikal? Padahal lembaga tersebut sejatinya mendapat anggaran dari pusat.
Bayangkan, dana sebesar ini mestinya bisa menutup ratusan lubang jalan atau menopang usaha kecil warga yang sedang terhimpit ekonomi.
Secara regulasi, hibah memang diperbolehkan. PP 12/2019 dan Permendagri 77/2020 memberi ruang daerah menyalurkan hibah, termasuk ke instansi vertikal, asalkan kebutuhan dasar masyarakat lebih dulu terpenuhi.
Dari sisi legalitas, tidak ada masalah. Namun, dari perspektif keadilan fiskal, persoalan ini menjadi krusial.
Laporan BPK mencatat, Pemkot Bandar Lampung masih mengalami defisit ratusan miliar. Tren defisit memang menurun sejak 2020, tetapi nilainya tetap besar.
Artinya, kondisi fiskal daerah masih rapuh. Dalam situasi seperti ini, publik wajar menilai setiap rupiah seharusnya diarahkan ke layanan dasar seperti jalan, kesehatan, dan pendidikan.
Dalam literatur keuangan publik, hal ini terkait dengan teori akuntabilitas. Anggaran bukan sekadar angka, melainkan juga menyangkut trust.
Hibah dalam jumlah besar berpotensi menimbulkan konflik kepentingan apakah lembaga penegak hukum bisa tetap netral setelah menerima hibah? Kepercayaan masyarakat pun bisa terkikis karena muncul kesan uang rakyat tidak kembali ke rakyat, melainkan untuk kepentingan birokrasi antar-lembaga.
Karena itu, dasar hukum saja tidak cukup. Diperlukan komunikasi publik yang jernih apa urgensi hibah ini, apa manfaat langsung bagi warga, dan bagaimana dampaknya pada pelayanan publik?
Tanpa jawaban yang meyakinkan, wajar bila masyarakat menilai kebijakan ini “di luar nalar.”
Apalagi, hibah besar ke instansi vertikal sebelumnya Rp50 miliar untuk fasilitas kesehatan Unila, Rp75 miliar untuk UIN Raden Intan, hingga hibah tanah bagi Polda dan Polresta justru menunjukkan pola kebijakan yang berulang.
Preseden semacam ini tidak bisa menjadi alasan pembenaran.
Saya melihat polemik ini sebagai momentum.
Jika Pemkot mampu membuktikan transparansi, menetapkan prioritas anggaran yang adil, serta memastikan netralitas lembaga hukum tetap terjaga, kepercayaan publik bisa dipulihkan.
Harus diingat, keputusan anggaran bukan hanya tanggung jawab eksekutif, melainkan juga DPRD sebagai pembahas Perda APBD.
Penulis oleh Saring Suhendro adalah Akademisi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Lampung.