PEMERINTAH Kota Bandar Lampung kembali menjadi sorotan publik setelah memberikan hibah dengan nilai fantastis, mencapai Rp60 miliar, kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung. Meski alasan formal hibah tersebut adalah untuk mendukung peningkatan sarana dan prasarana penegakan hukum, langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pantas uang rakyat sebesar itu dialihkan untuk institusi yang seharusnya independen mengawasi dan menegakkan hukum, termasuk terhadap pemerintah daerah sendiri?
Dalam praktik tata kelola pemerintahan, hibah kepada aparat penegak hukum selalu rawan menimbulkan konflik kepentingan. Publik tentu bertanya-tanya, bagaimana mungkin lembaga hukum yang menerima kucuran dana begitu besar dari pemerintah daerah dapat bersikap netral ketika harus menangani perkara yang melibatkan pejabat Pemkot? Ada risiko besar independensi tergerus, atau setidaknya muncul persepsi “utang budi” yang berbahaya bagi marwah penegakan hukum.
Anggaran Rp60 miliar jelas bukan angka kecil. Dana sebesar itu sejatinya bisa diarahkan pada kebutuhan lebih mendesak bagi masyarakat Bandar Lampung, mulai dari penataan drainase untuk mengatasi banjir, perbaikan infrastruktur jalan, pemberdayaan UMKM, hingga peningkatan kualitas layanan kesehatan dan pendidikan. Ketika problem pelayanan publik masih begitu nyata, pemberian hibah jumbo kepada lembaga penegak hukum terasa kurang tepat sasaran.
Apalagi, Kejati Lampung adalah lembaga vertikal yang secara struktur organisasi berada di bawah Kejaksaan Agung RI. Secara logika anggaran, penguatan sarana prasarana seharusnya ditopang oleh APBN, bukan APBD kota yang ruang fiskalnya terbatas. Artinya, keputusan hibah ini justru mengorbankan kepentingan masyarakat kota demi alasan yang masih bisa diperdebatkan urgensinya.
Di sinilah pentingnya transparansi. Pemkot wajib menjelaskan secara detail: untuk apa saja dana Rp60 miliar itu digunakan, apakah benar-benar mendukung kepentingan publik, atau hanya menjadi pintu masuk “politik anggaran” yang mengaburkan batas antara eksekutif daerah dan aparat hukum. DPRD Kota Bandar Lampung juga harus memainkan peran pengawasan serius, bukan sekadar menjadi stempel kebijakan.
Hibah yang mestinya ditujukan untuk memperkuat layanan publik, jangan sampai justru menimbulkan persepsi negatif di mata masyarakat: bahwa aparat hukum “dibeli” loyalitasnya dengan dana APBD. Pada akhirnya, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah maupun penegak hukum bisa semakin terkikis.
Bandar Lampung butuh penegakan hukum yang kuat, bersih, dan independen. Jika Kejati ingin memperbaiki fasilitas, seharusnya memperjuangkan anggaran dari pusat, bukan dari kantong APBD kota yang notabene milik rakyat.
Rp60 miliar bukan sekadar angka, melainkan amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, hibah ini hanya akan melahirkan kecurigaan: sinergi atau justru konflik kepentingan yang merusak tata kelola pemerintahan?
Penulis: Taufik Rohman, S.H.I
Pemimpin Redaksi Topikindonesia.id